Minyak jatuh karena kenaikan produksi AS, permintaan RRT meragukan

Houston – Harga minyak merosot pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB) di tengah ekspektasi bahwa produksi AS dapat naik serta data ekonomi yang lebih lemah dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan pembatasan COVID-19 yang meluas di negara itu membebani permintaan.

Patokan global minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember kehilangan 94 sen atau 0,98 persen, menjadi menetap di 94,83 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun 1,37 dolar AS atau hampir 1,6 persen, menjadi ditutup di 86,53 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Meskipun turun pada hari Senin (31/10), harga minyak mencetak kenaikan pada bulan ini, sebagian didorong oleh keputusan pengurangan produksi utama yang diumumkan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang secara kolektif dikenal sebagai OPEC+.

Kedua harga acuan minyak mencatat kenaikan bulanan pertama mereka sejak Mei. Pada bulan Oktober, menurut Dow Jones Market Data, WTI menguat 8,9 persen, sementara Brent terangkat 7,8 persen.

Produksi minyak di Amerika Serikat naik menjadi hampir 12 juta barel per hari pada bulan Agustus, tertinggi sejak awal pandemi COVID-19, data bulanan pemerintah menunjukkan.

Presiden AS Joe Biden akan meminta perusahaan minyak dan gas untuk menginvestasikan sebagian dari rekor keuntungan mereka dalam menurunkan biaya bagi keluarga Amerika, kata seorang pejabat Gedung Putih.

Biden akan meminta Kongres untuk mempertimbangkan mewajibkan perusahaan-perusahaan minyak membayar denda pajak dan menghadapi pembatasan lain, kata pejabat itu.

Presiden sebelumnya telah mendorong perusahaan-perusahaan minyak untuk meningkatkan produksi daripada menggunakan keuntungan untuk pembelian kembali saham dan dividen.

Pemerintah juga mengandalkan pelepasan pasokan dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) untuk meredakan krisis pasokan. Sekitar 1,9 juta barel dilepaskan dari SPR pekan lalu sebagai bagian dari rencana pemerintah melepas 180 juta barel.

Sementara itu, aktivitas pabrik di Tiongkok, importir minyak mentah terbesar dunia, turun tak terduga pada bulan Oktober, menurut survei resmi pada hari Senin (31/10), terbebani oleh melemahnya permintaan global dan pembatasan ketat COVID-19 yang memukul produksi.

“Data indeks manajer pembelian (PMI) menambah kesedihan pasca pesta kongres Cina untuk pasar minyak. Tidak sulit untuk menarik garis lurus dari PMI yang lebih lemah ke kebijakan nol COVID Cina,” kata Stephen Innes, Managing Partner di SPI Asset Management.

Ia melanjutkan, “Selama COVID nol tetap mengakar, itu akan terus menggagalkan kenaikan minyak.”

Kota-kota di Tiongkok meningkatkan pembatasan nol COVID ketika wabah meluas, mengurangi harapan rebound permintaan.

Pembatasan ketat COVID-19 di Tiongkok telah memukul aktivitas ekonomi dan bisnis, membatasi permintaan minyak. Impor minyak mentah Tiongkok untuk tiga kuartal pertama tahun ini turun 4,3 persen tahun ke tahun untuk penurunan tahunan pertama dalam periode setidaknya sejak 2014.

Sementara itu, menurut survei S&P Global, zona euro kemungkinan akan memasuki resesi dengan aktivitas bisnis Oktober mengalami kontraksi tercepat dalam hampir 2 tahun.

Pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa berdiri di belakang rencana untuk terus menaikkan suku bunga sekalipun langkah itu mendorong blok tersebut ke dalam resesi dan memicu kebencian politik.

OPEC pada hari Senin (31/10) menaikkan perkiraan untuk permintaan minyak jangka menengah dan panjang serta mengatakan investasi 12,1 triliun dolar AS untuk memenuhi permintaan ini meskipun ada transisi energi. (Ant)

Artikulli paraprakGubernur Sulteng terus dorong wali kota dan bupati maksimalkan GNPIP
Artikulli tjetërIHSG Selasa dibuka menguat 27,93 poin