Jakarta – Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan Bank Indonesia (BI) berpotensi menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Oktober ini.
“Kami mempertimbangkan kemungkinan BI mungkin harus mengejutkan konsensus lagi dengan menaikkan 75 bps untuk meningkatkan likuiditas domestik valuta asing (valas) yang tipis dan menahan penurunan rupiah,” ujar Satria dalam hasil kajiannya di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, terdapat beberapa alasan BI untuk agresif, yakni situasi umum di Oktober yang tidak diragukan lagi kurang kondusif dibandingkan dua bulan sebelumnya, dengan imbal hasil global yang meningkat tajam, sementara tekanan jual terhadap rupiah meningkat.
BI juga tertinggal di belakang bank sentral lainnya, sikap yang dapat diambil ketika pasar valas domestik dibanjiri likuiditas dolar AS dari ledakan komoditas, tetapi tidak sekarang ketika rupiah berada di bawah tekanan karena mundurnya harga komoditas bertepatan dengan permintaan dolar AS pada akhir tahun yang tinggi di antara perusahaan lokal.
Selain itu, BI pada RDG bulan lalu juga menyoroti perlunya langkah frontloaded atau membebani kenaikan suku bunga, yang membuka kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih besar dari perkiraan bulan ini yaitu 50 bps.
Satria melanjutkan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 bps juga berpotensi dilakukan lantaran rupiah saat ini sudah melemah ke Rp15.500 per dolar AS.
“Kami membaca di sini adalah BI telah melakukan intervensi dalam jumlah yang lebih besar selama dua minggu terakhir daripada yang pernah dilakukan sebelumnya tahun ini. Suku bunga simpanan valas overnight yang digunakan BI dalam operasi moneternya pun telah meningkat,” tuturnya.
Namun, sambung dia, hal tersebut tidak diikuti oleh bank umum, yang terkendala oleh tingkat bunga penjaminan 0,75 persen untuk simpanan valas yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Akibatnya, banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura, yang menawarkan lebih dari tiga persen setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka mereka.
Terlepas dari surplus perdagangan Indonesia yang besar, menurut Satria, likuiditas dolar AS saat ini tipis di antara bank-bank lokal karena BI menjadi satu-satunya pemasok dolar AS di pasar valas.
“Dalam tradeoff antara cadangan devisa atau suku bunga ini, strategi yang lebih berkelanjutan bagi BI jika ingin menahan rupiah adalah dengan memberikan kenaikan suku bunga yang besar,” tegas Satria. (Ant)