Oleh: Ton Abdillah Has
Indonesia adalah negara agraris, begitu di pelajaran sekolah. Sebuah fakta yang sepenuhnya benar, bahkan jika ditilik secara historis. Kemasyhuran rempah-rempah misalnya, membuat bangsa Eropa berlomba mencapai bumi Nusantara untuk berdagang lalu menjajah. Nusantara lama, sama seperti pusat peradaban tua dunia lainnya, menjadikan pertanian sebagai sumber kemakmuran.
Hanya saja kini, fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor produk pertanian terbesar di dunia membuat kita semua harus berkaca. Bagaimana mungkin sebuah bangsa agraris dengan tanahnya yang subur, serta jumlah petaninya yang mencapai hampir sepertiga penduduknya yang bekerja, sampai terjebak menjadi negara pengimpor bahan pangan? Tentu saja karena ada yang salah, tetapi apakah petaninya?
Terbatasnya SDM petani, kecenderungan usia petani yang makin menua terutama pada tanaman pangan, penggunaan bahan non-organik yang masih dominan, serta beragam problem lainnya yang sekilas mungkin dapat menjadi alasan untuk menyimpulkan petani lah sebagai titik lemah.
Namun jika disimak lebih dalam, ada problem struktural yang amat serius hingga petani kita selalu diposisikan marginal. Rerata kepemilikan lahan yang sangat sedikit, edukasi yang minim, harga bahan pangan yang dikontrol negara, berubahnya skema pemberian subsidi pada benih, pupuk dan obat hama, kekeringan, serta kerap terabaikan dalam skema pembiayaan perbankan, merupakan sedikit dari masalah struktural tersebut.
Pertanian memang dipandang sebagai sektor penopang, sehingga pelakunya, para petani, menjadi selalu figuran dalam desain besar pembangunan ekonomi. Konsekuensinya, menjadi petani dipandang bukan profesi yang menjamin kesejahteraan, peremajaan petani terhambat, produktivitas stagnan, alih fungsi lahan kian cepat, dan modernisasi pertanian jalan di tempat.
Mari kita cermati tren pengurangan peran negara dalam sektor ekonomi yang makin deras sejak era reformasi. Desakan IMF dan Bank Dunia untuk pemangkasan subsidi, termasuk subsidi pertanian yang dioperasikan ekonom-ekonom neoliberal macam Sri Mulyani dan Boediono tersebut, membuat subsidi bibit, pupuk dan obat hama yang tadinya dinikmati oleh semua petani, kini dianggarkan secara terbatas dan disalurkan lewat skema yang rumit.
Akhirnya, bukan hal mengherankan jika petani di Ngawi atau di Bone kesulitan memperoleh bibit, pupuk dan obat hama bersubsidi. Hal ini pula yang menyebabkan biaya produksi beras petani padi di Karawang tetap lebih mahal ketimbang beras impor dari China, meski sudah ketambahan pajak dan ongkos kirim. Belum pula jika kita membahas alat dan mesin pertanian (alsintan) yang jumlahnya terbatas dan dikontrol dinas pertanian di daerah-daerah.
Membandingkan petani Indonesia dengan petani eropa, yang sekali setahun mampu liburan di Bali misalnya, tentu lah kejauhan. Di kawasan, kita bisa berkaca dari Vietnam yang harusnya membuat kita iri karena tiap tahun masuk dalam list negara sumber impor pangan kita.
Vietnam berhasil memodernisasi pertaniannya sedemikian rupa dalam dua dekade terakhir. Kini, mereka bukan hanya menjadi pengekspor beras dan komoditas pangan lainnya, tetapi juga menjadi pemasok bunga segar yang tiap akhir pekan jadi hadiah orang Jerman untuk pasangannya, bersaing dengan Belanda yang tadinya menguasai pangsa pasar bunga segar di Jerman.
Petani di pedesaan Vietnam bisa menghasilkan pendapatan rata-rata hingga 2 ribu USD dalam setahun. Hal yang menjadikan negara mereka banjir pujian karena keberhasilan pengentasan kemiskinan melalui pembangunan sektor pertanian.
Terkini, Vietnam telah dijadikan percontohan bagi upaya adaptasi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim. Sebuah isu yang di negara kita nampaknya masih menjadi bahasan ahli pertanian, ketimbang sudah menjadi materi para penyuluh pertanian dalam mengedukasi petani.
Sementara wilayah pedesaan sebagai basis pertanian di Indonesia masih merupakan kantong kemiskinan. Bahkan gelontoran dana desa nampaknya belum terhubung dengan agenda penguatan sektor strategis ini. Jika pun ada, lebih sebagai kreativitas ketimbang sebuah program massif yang terkoneksi.
Cerita Miris dari Cianjur
Bagi para pengambil kebijakan, tidak perlu jauh melihat potret mirisnya realitas dunia pertanian. Cukup berkendara dua jam dari Jakarta ke area destinasi wisata favorit warga Jakara, di Cipanas, Cianjur.
Hanya beberapa kilometer dari jalan poros Puncak-Cianjur, di kaki Gunung Gede-Pangrango, Mang Dadang membiarkan buah Tomatnya membusuk. Tomatnya hanya dihargai tengkulak seharga seribu lima ratus rupiah perkilo meski di pasar terdekat, pedagang menjual dua belas ribu. Mang Dadang yang merasa hutangnya di Tengkulak hampir lunas, membiarkan tomatnya membusuk ketika mendapat pekerjaan harian.
Kebutuhan hidup, bibit, kelangkaan dan mahalnya harga pupuk menjadi alasan Dadang tidak bisa lepas dari jerat tengkulak. Konsekuensinya, dia harus menjual hasil kerja kerasnya dengan harga rendah.
Aryo, pemilik toko tani di Cipanas menuturkan, pupuk subsidi yang hanya bisa diakses anggota Gapoktan kerap kali diperjualbelikan melebihi harga pupuk non subsidi karena kelangkaan. Akibatnya, para petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani benar-benar kesulitan. Padahal, jumlah mereka jauh lebih banyak ketimbang yang berorganisasi.
Hal ini dikonfirmasi salah seorang Anggota DPRD Kab. Cianjur yang enggan disebutkan namanya. Menurutnya, di tengah karut marut kesulitan pupuk, serapan pupuk bersubsidi di Cianjur baru 40% meski akhir tahun bersisa kurang dari tiga bulan lagi.
Koreksi mendasar untuk membenahi sektor pertanian sudah teramat dibutuhkan. Di tengah tantangan global dan perubahan iklim, langkah segera dan radikal diperlukan jika kita tidak ingin bangsa ini semakin tenggelam dalam kesulitan pangan, dan petaninya terus berada di pusaran kemiskinan.
Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Petani Indonesia